Jumat, 10 April 2015

Review Film: Cinta Tapi Beda

Tuhan Memang Satu, Kita yang Tak Sama
Sampul film "Cinta Tapi Beda"
               Pada tahun 2010, dunia perfilman yang bergenre drama sedang diminati banyak orang. Para penikmat film Indonesia dibuat terharu oleh film “Cinta Tapi Beda” karya MVP Pictures. Cinta Tapi Beda adalah film yang dirilis tanggal 27 Desember 2012 dan merupakan kisah nyata dari cerita Dwitasari. Disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra yang diproduseri  Raam Punjabi. Film ini dibintangi oleh Reza Nangin (sebagai Cahyo Fadholi), Agni Pratistha (sebagai Diana Fransisca), dan Choky Sitohang (sebagai Oka). Film “Cinta Tapi Beda” ini menceritakan dua insan manusia yang terhalang karena berbeda keyakinan dan  restu orang tua. 



Cahyo bekerja sebagai Chef di restoran terkenal di Jakarta
               Film ini diawali dengan munculnya Cahyo, Seorang laki-laki bermuka tampan asal Yogyakarta tulen yang taat beribadah, bekerja sebagai Chef di sebuah restoran terkenal di Jakarta dan kariernya sukses. Sepulang kerja, ia pergi menemui pacarnya, Mitha untuk janjian kencan. Namun tiba-tiba dibatalkan oleh Mitha karna alasan tertentu. Cahyo tidak sengaja melihat Mitha di jalan, kecurigaan Cahyo mucul. Dengan segera Cahyo menuju mobil yang Mitha kendarai dan kepergok sedang selingkuh dengan laki-laki lain. Cahyo benar-benar terluka akan kejadian itu. Di adegan ini para pemeran tokoh sangat berekspresi dalam beradegan. Terutama saat scene Cahyo dan selingkuhan Mitha adu tonjok. Selain itu para pemeran figuran pun sangat membantu penonton merasakan feel tegangnya perdebatan tokoh utama.



Cahyo bertemu Diana setelah pulang dari pementasan tari Buleknya
Tiga bulan kemudian, Cahyo datang ke pementasan tari yang dipimpin oleh buleknya dan betemu dengan salah satu penari yang bernama Diana, mahasiswa jurusan seni tari dari Padang yang merantau ke Jakarta demi meraih keinginannya menjadi penari. Dari kejadian itulah keduanya mulai merasakan cinta satu sama lain. Cahyo sering melihat latihan tari Diana, mengantar pulang, membawakan makanan enak untuk Diana, dan sampai mengajak makan-makan bersama yang membuat Diana makin sayang kepada Cahyo. Memang Diana mencintai Cahyo apa adanya. Di bagian Diana mengajak Cahyo makan bersama paman dan bibinya Diana dimana bibinya Diana memisahkan mana yang halal dan mana yang haram, mengajari kita sikap toleransi.


Cahyo yang membawa Diana untuk diperkenalkan ke keluarganya
            Setelah hubungan berjalan cukup lama, keduanya memutuskan untuk saling mempertemukannya kepada keluarga mereka. Cahyo mengambil langkah untuk mengajak Diana ke Jogja karna adiknya, Lintang akan di Khitan sekaligus memperkenalkan Diana ke keluarganya. Namun Diana sempat khawatir dengan keputusan tersebut karna ia bukan dari keluarga yang seiman. Ibunda Cahyo memaklumi hubungan diantara mereka, namun sebaliknya “tidak” bagi ayah Cahyo, ia tidak akan pernah merestui hubungan mereka sampai kapanpun. Akhirnya Cahyo pun terbawa emosi dan langsung mengemas baju-bajunya dan mengajak Diana kembali ke Jakarta. Tiba-tiba selama Diana pergi, ibunda Diana datang dari Padang ke Jakarta untuk bertemu dan menemaninya sampai ujian akhir. Diana meminta restu kepada ibundanya, namun ibunya juga tak menyetujuinya. Ibunda Diana takut kehilangan Diana yang seperti kakak-kakaknya meninggalkan agama demi cinta. Cinta mereka memang sungguh mengharukan, benar-benar terasa sekali perbedaan agama yang mereka hadapi. Penonton dapat merasakan emosi para tokoh yang beradegan.



Ayah Cahyo yang tidak merestui anaknya dengan wanita non-muslim


Ibunda Diana yang juga tidak merestui hubungan Diana dengan Cahyo


             Ibunda Diana sangat tidak suka apabila Diana bersama Cahyo. Ia berusaha supaya Diana tidak berhubungan dengan Cahyo. Diana dan Cahyo merasa dilema akan hubungan ini, dilanjutkan atau diakhiri begitu saja. Suatu hari, Cahyo pergi ke rumah Diana untuk meminta restu kembali ke ibunda Diana. Namun ibunda Diana tetap menolak lamaran Cahyo dan mengannggap tidak ada yang perlu dibicarakan lagi antara hubungannya dengan putrinya alias sudah berakhir. Cahyo terlarut dalam masalahnya sehingga ia tidak fokus dengan pekerjaannya, begitupula dengan Diana tidak fokus dalam mempersiapkan ujian akhirnya. Keduanya saling memperjuangkan cintanya. Cahyo tetap bersikeras dalam membujuk ibunda Diana meski ditolak berkali-kali. Ternyata ibunda Diana telah menjodohkan putrinya dengan lelaki yang lebih pantas, mapan, dan seiman  dengan mereka, yaitu Dokter Oka. Oka adalah Jemaat satu gereja dengan Diana dulu sewaktu di Padang. Sungguh terlihat watak tokoh Cahyo yang pekerja keras, tangguh, dan berprinsip kuat.


Pernikahan antara Diana dan Oka di Padang
               Karena tidak ada yang dapat dilakukan lagi, saat itu Cahyo mulai putus asa dan kehilangan harapan akibat cintanya yang kandas bahkan ia dipecat oleh menegernya karena performanya menurun tajam dan menyebabkan restoran tempat ia bekerja keuangannya menurun drastis. Diana menuruti permintaan ibunya untuk melangsungkan pernikahannya dengan Oka di Padang. Beberapa hari kemudian setelah sampai di Padang, Diana melarikan diri kembali ke Jakarta untuk menemui Cahyo. Disana Diana dan Cahyo mengurus administrasi pendaftaran pernikahannya di KUA namun ditolak karena hukum yang tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Mereka menemui jalan buntu, masalah mereka hanya berputar disini saja tanpa ada penyelesaian. Tiba-tiba Cahyo mendapat telepon dari pamannya Diana bahwa ibunda Diana sakit karena shock akan kepergian Diana tanpa pamit. Segera Diana bergegas pulang ke Padang untuk menjenguk ibunya. Di hari pernikahan Diana, semua orang tampak bahagia kecuali Diana. Yang seharusnya hari tersebut merupakan hari bahagianya, malah sebaliknya karna ia yang terpaksa menuruti permintaan ibunya. Namun tiba-tiba pernikahan dibatalkan oleh Oka dan ibunda Diana kecewa. Oka menjelaskan bahwa pernikahan merupakan awal dari kebahagian, bukan malah awal dari kesedihan yang tiada ujungnya, ia tidak mau mengorbankan perasaaan seseorang serta pernikahan memang tidak bisa dipaksakan. Pada akhirnya ibunda Diana luluh dan memberi restu antara hubungan Diana dan Cahyo.


Cahyo dan Diana akhirnya bertemu satelah keduanya direstui oleh orangtua mereka
                Berbeda dengan film drama lain, film menggambarkan kisah cinta dua insan manusia yang harus terhalang oleh keyakinan. Kisah cinta ini sesuai dengan fakta kenyatan yang terjadi di kehidupan kita. Para pemain tokoh pun berhasil memainkan emosi para penonton sehingga dapat terenyuh akan kisah di dalam film tersebut. Film ini juga menyuguhkan seni tari kontemporer yang cukup menarik dan musik pada scene-scene klimaks yang dapat meningkatkan mood serta emosi penonton. Namun dibalik itu, tentu ada kekurangan-kekurangan. Yaitu, alur yang berjalan cepat sehingga penonton sulit memahami jalan cerita film tersebut, dan akhir film yang “menggantung” membuat penonton bertanya-tanya karena tidak diketahui bagaimana selanjutnya antara hubungan Si Cahyo dan Diana.

              Dari paparan kisah cinta yang penuh konflik tersebut, dapat saya simpulkan bahwa film “Cinta Tapi Beda” memungkinkan kita bicara mengenai toleransi beragama lewat film drama percintaan yang berbeda agama. Film ini menawarkan tokoh yang beragama bermacam-macam dalam merespons kondisi masyarakat Indonesia yang menikah beda agama dan membalikkan pertanyaan kepada penonton apakah cinta yang beda agama dapat diteruskan atau diakhiri saja? Dan apakah sebaiknya cinta tumbuh bukan karena nafsu belaka tapi haruslah karena rasa iman kita terhadap Tuhan? Saya serahkan jawabannya kepada Anda :) .

Selasa, 03 Maret 2015

Review Film: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Film Pelayarputihan Yang Memukau

sampul film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

sampul novel karya Buya Hamka
Belakangan ini pelayarputihan novel (pemindahan sebuah novel ke dalam film) mulai ramai terjadi. Pelayar putihan sendiri muncul pada tahun 1970an tepatnya tahun 1978. Salah satu film tersebut adalah “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang dirilis filmnya pada tanggal 19 Desember 2013. Film tersebut merupakan sebuah mahakarya nan epik yang diproduksi oleh Soraya Intercine Films dan diadaptasi dari novel mega bestseller karangan sastrawan sekaligus budayawan H. Abdul Malik Karim Abdullah/ Hamka yang diterbitkan tahun 1938.Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mampu menyajikan sebuah kisah cinta yang cukup menyayat hati dan batin. Di sutradarai oleh Ram Soraya & Sunil Soraya, ditulis skenario oleh Donny Dhirgantoro & Imam Tantowi, dan disunting oleh Sasta Sunu.

teaser poster untuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

            Film ini disebut-sebut sebagai “The Best Epic, Tragic, And Romantic Indonesian Movie That Ever Made” oleh para penontonnya. Bagaimana tidak, dipadu dengan sinematografi dan akting memukau dari ketiga pemain utama yakni: Herjunot Ali (Zainuddin), Pevita Pearce (Rangkayo Hayati), dan Reza Rahadian (Aziz) mampu memuculkan feel dan emosi yang sampai ke penonton lewat tiap scene yang mereka bawakan. Ditambah tokoh pendamping, Randy Danistha (Nidji) yang cukup mengundang tawa ditengah tegangnya plot yang tersaji lewat karakter Bang Muluk. Aktris dan aktor lain yaitu Arzetti Bilbina (Ibu Muluk), Kevin Andrean (Sophian) Jajang C. Noer (Mande Jamilah), Niniek L. Karim (Mak Base), Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuro (Datuk Hayati), Gesya Shandy (Khadijah), Femmy Prety, Dewi Agustin, dll.

Film ini menggunakan product placement  tahun 1930an yang menjadikan film tersebut menjadi film termahal yang pernah diproduksi Soraya Intercine Films. Film ini menghabiskan waktu 5 tahun untuk proses produksinya dengan proses penyuntingan 6 bulan dan menghasilkan film berdurasi 2 jam 49 menit. Penulis skenario film ini melakukan riset yang mendalam dalam menulis skenarionya seperti mulai dari memperhatikan kapalnya hingga adat Minang, latar serta properti seperti mobil, baju dan barang-barang era 1930an juga. Proses pengambilan gambar juga diambil langsung dari tanah Minangkabau, Jakarta, Bandung, dan Makassar.

            Sekilas cerita, kisah dalam film ini merupakan kisah yang menekankan budaya lampau “kawin paksa” di adat Minangkabau. Sang gadis yang dikawini paksa adalah tokoh Hayati, seorang gadis cantik jelita yang menjadi bunga di persukuannya. Dan  sang pujaan hati sang gadis yaitu tokoh Zainuddin, sorang pemuda bertanah kelahiran Makassar berlayar menuju kampung halaman ayahnya Padang Panjang. Di sana, ia bertemu dengan Hayati, kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Namun, adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta mereka berdua. Zainuddin hanya seorang melarat yang tak bersuku. Oleh sebab itu, ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau. Sedangkan Hayati adalah perempuan Minang santun keturunan bangsawan.  Pada akhirnya, lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya terpandang yang lebih disukai keluarga Hayati. Karena kekecewaannya itulah, Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang melawan keterpurukan cinta dan hidupnya dengan membuka lembaran hidup yang baru.



bagian scene saat bertemunya Zainuddin dan Hayati 
Di awal mulanya film ini berlatarkan tahun 1930an di tanah Makasar. Zainuddin pergi berlayar ke kampung halaman Ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Sesampainya ia di sana, ia bertemu seorang gadis cantik yang bernama Hayati. Mereka berdua saling jatuh cinta namun adat-istiadat meruntuhkan cinta mereka. Zainuddin orang yang tidak mapan dan tidak bersuku sedangkan Hayati adalah gadis Minang yang santun dan keturunan bangsawan. Adat Minang bernasabkan garis keturunan ibu, sedangkan Zainuddin memiliki seorang ibu berdarah Bugis bukan Minang (statusnya dalam masyarakat Minang yang bernasabkan garis keturunan ibu). Pada adegan atau cerita ini dapat kita lihat jelas bahwa pada zaman dahulu Indonesia masih berpegang teguh pada adat-istiadat yang berlaku disetiap daerah dan tidak bisa diganggugugat oleh apapun.

Zainuddin yang menerima surat penolakan dari Keluarga Hayati

         Zainuddin yang sudah terlanjur mencintai Hayati sehingga dia memutuskan untuk melamar Hayati. Namun lamarannya ditolak oleh keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz yaitu kakak Khadijah (Teman baik Hayati) karena dia lebih terpandang,dan jelas keturunan Minangnya daripada Zainuddin. Zainuddin merasa tersakiti dan memilih untuk merantau ke Surabaya untuk melupakan kepedihannya dan membuka lembaran hidup baru. Zainuddin selalu menuangkan pengalamannya dalam lembaran-lembaran kertas yang kemudian cerita pengalamannya membawa ia ke gerbang kesuksesan. Dia menjadi orang yang terkenal di seluruh Nusantara karena karya tulis nan indah yang ia buat. Pada cerita ini dapat kita lihat bahwa keterpurukan karena cinta dapat membuahkan sebuah kesuksesan apabila kita bangkit dan menganggap itu sebagai hal positif.


          Zainuddin pergi merantau dengan tujuan melupakan Hayati, namun tanpa disangka mereka bertemu di sebuah pertunjukan tetapi Hayati datang bersama suaminya sekarang, Aziz. Aziz, suami Hayati adalah lelaki yang mapan namun tak disangka Aziz suatu waktu mengalami kebangkrutan karena terlilit hutang dimana-mana akibat kebiasaan buruknya berjudi dan hidup berfoya-foya. Dengan terpaksa, mereka bertempat tinggal bersama dengan Zainuddin. Karena merasa malu, Aziz pun pergi merantau untuk mencari pekerjaan tanpa membawa Hayati.






                Aziz merasa bersalah karena Zainuddin, sehingga ia nekat untuk mengakhiri hidupnya dan melepas Hayati sebagai istrinya. Zainuddin pun meminta Hayati untuk pulang kampung ke halamannya, yaitu “Tanah Minangkabau yang kaya dengan adat, yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas” karena ia tertelan amarahnya. Hayati pulang dengan Kapal Van der Wijck dan di tengah perjalanan, kapal tersebut tenggelam danakhirnya karam. Zainuddin mengetahui berita tersebut dan menyesal karena telah melepas Hayati untuk yang kedua kalinya. Namun, keterpurukan tersebut membuat ia bangkit kembali dan tetap melanjutkan hidupnya dengan terus berkarya.

Jika dibandingkan dengan film yang sejenis sepert “Dibawah Lindungan Ka’bah” memang sangat terlihat, di film ini efek suara dan editingnya lebih bagus. Di film Dibawah Lindungan Ka’bah, barang propertynya masih terlihat lebih modern dan menjadi penonton kurang terbawa dalam adegan scene itu. Film Kapal Van Der Wijck juga lebih menonjolkan unsur adat dan budaya, sedangakan film Di Bawah Lindungan Ka'bah lebih menonjolkan usur religi.

Sayangnya dibalik kesuksesan film ini, sempat menuai protes dari masyarakat Minangkabau lantaran kostum yang dipakai Hayati (Pevita Pearce) dalam poster maupun film tersebut terlalu terbuka tidak sesuai dengan Hayati yang ada dalam Novel. Di novel Hayati diceritakan sebagai gadis kuat adat & taat agama dengan selalu memakai jilbab dan berpakaian sopan, namun di  film malah digambarkan Hayati yang sempat berpakaian terbuka (dress).  Bahasanya  memang agak sulit dimengerti, durasi film yang terlalu lama, tidak terlalu menonjolkan apa yang seperti judul filmnya (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck), dan tidak terlihat penyebab jelas kapal Van der Wijck tenggelam.


Film ini secara keseluruhan bagus sekali kejelekannya termaafkan dan bahkan hampir tidak disadari dari setiap scenenya.  Salah satu saran yang mungkin bisa lebih membangun hanya kemampuan menampilkan efek visual Kapal van der Wijck. Sepertinya di extended version dibuat lebih gelap dan lebih bagus meskipun tetep keliatan seperti tempelan. Hal lainnya yang mungkin bisa diperbaiki adalah acting nanggis Hayati yang kurang halus. Zainuddin di awal cerita juga terkesan terlalu gampang menanggis. Topik yang diangkat  cerita cinta masa lalu yang malu-malu, surat-suratan, dan berbagai kesederhanaan dan ketulusan yang ditampilkan seakan  membuat saya sendiri sebagai penonton kembali percaya kalau ketulusan cinta itu bukan sekedar donggeng belaka.  Pengambilan gambarnya pun indah-indah dan sangat indah. Pengambilan gambar, pemilihan warna membuat  puas yang menonton film ini dan tak rela meninggalkan setiap adegannya. 

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang merupakan adaptasi dari novel karya Buya Hamka ini memberikan pesan moral yang sangat luar biasa. Film ini dapat menjelaskan kembali bagaimana kentalnya kebudayaan Indonesia dimasa lampau, dapat memotivasi anak muda untuk selalu hadapi masalah dan bangkit dari keterpurukan, serta dapat mengenalkan pada masyarakat tentang kemahsyuran bangsa Indonesia zaman dahulu.



Trailer film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

Ditunggu komentarnya ya teman-teman, terimakasih telah membaca dan dikomentari ;)) :D